BISAKAH APEL DAN JERUK MENGAJARI HAL-HAL YANG SENANG?
November 17, 2018![]() |
Kita lahir dari perbedaan. Perbedaan itu
menciptakan perbedaan-perbedaan lainnya. Antara satu beda dan beda lainnya
kemudian menggulirkan perbedaan-perbedaan yang lebih banyak lagi. Dan perbedaan
mengisi seluruh hidup kita. Perbedaan menjadi hiasan permata yang digantung
pada sepasang mata kita. Menjadikannya seperti hal wajib yang harus kita tahu
dan pahami bersama dengan seluruh isi otak yang tersisa. Tapi, masa kini, bukan
lagi persoalannya adalah tentang perbedaan, melainkan bagaimana cara menghargai
perbedaan itu.
Perbedaan ini kita sampaikan lewat apel dan
jeruk. Jika ada sebuah toko buah yang membagikan apel dan jeruk secara cuma-cuma,
kemudian ada sepuluh orang berdiri depan toko tersebut untuk memilih buah dan
mereka diwajibkan untuk hanya memilih satu jenis buah. Berapakah probabilitas
dari sepuluh orang tersebut untuk membawa pulang apel dan tidak memilih jeruk?
Dan sebaliknya, seberapa besar kemungkinan dari sepuluh orang tersebut untuk
memilih jeruk dan mengabaikan apel?
Kita tidak pernah tahu berapa orang yang akan
memilih apel atau jeruk untuk dibawa pulang. Bisa saja satu orang memilih apel
dan sembilan lainnya menjatuhkan hati pada jeruk. Bisa juga masing-masing lima
orang memilih apel dan jeruk. Atau bisa saja sepuluh orang tersebut tidak acuh
terhadap jeruk dan lebih memilih apel. Bisa saja, kan?
Itulah selera. Ada orang-orang yang menyukai
apel. Ada juga orang-orang yang memilih jeruk menjadi buah kesukaannya.
Pertanyaannya, apakah itu salah? Tidak. Selera tiap orang tidak bisa
dihomogenkan ataupun disimplifikasikan. Semua punya selera yang kita tak pernah
tahu apa latar belakang memiliki selera tersebut.
Perbedaan dan selera. Dua hal yang jika tak
dipahami secara baik, bisa menimbulkan kontra di antaranya. Jika seseorang yang
menyukai apel kemudian dia merendahkan buah jeruk hanya karena ada orang lain
yang tak memilih apel, itu kan jelas seperti persoalan yang saya jelaskan di
awal: tidak menghargai perbedaan. Atau pun sebaliknya, jika penyuka jeruk
merendahkan mereka yang tak memilih jeruk dan malah menjatuhkan hati pada apel.
Paling miris dari itu semua jika cara-cara yang
kotor tak masuk akal dilakukan. Misal, penyuka apel bilang pada mereka yang tak
menyukai apel dan malah memilih jeruk, "Untuk apa beli jeruk, kulitnya
keriput begitu macam nenek umur 90 tahun. Nanti kalau kamu makan jeruk
bisa-bisa kulitmu jadi cepat keriput, lho." Atau umpatan lain yang
disampaikan penyuka jeruk semisal, "Apel itu cepat busuk, soalnya kulitnya
tipis banget. Kalau kamu pilih apel terus memakannya, hati-hati deh, kamu bisa
cepat busuk persis kayak apel."
Perbedaan dan selera. Saling tak menghargai.
Menimbulkan kontra. Menghasilkan banyak amarah. Hoaks dilakukan. Saling sindir
sana-sini. Amarah makin memuncak. Akal sehat hilang. Kewarasan tak terjaga.
Akhirnya? Tak seindah yang diajarkan oleh Tuhan tentang perbedaan.
Daripada saling menjatuhkan satu sama lain,
kenapa tidak penyuka apel mengatakan kelebihan dan kekurangan apel tanpa
menghina penyuka jeruk? Begitu juga sebaliknya, penyuka jeruk mengatakan
kelebihan dan kekurangan jeruk tanpa menghina penyuka apel. Kemudian dari titik
itu berlanjut pada pemikiran bagaimana caranya supaya kelebihan ini kita
tingkatkan dan kekurangan ini kita minimalisir. Indah? Iya. Mudah? Tidak.
Caranya? Turunkan ego kita masing-masing.
Epilog pada kisah ini sederhana: dalam hidup, tak
cuma ada aku dan kamu, tapi juga kami, kalian, dan mereka, yang secara bersama
disebut kita.
0 komentar